March 7, 2007

Status Kosovo : Perundingan Tanpa Kesepakatan

Seperti sudah diduga sebelumnya perundingan di Wina yang difasilitasi Martti Ahtisaari berakhir (02/03/2007) tanpa kesepakatan dan kompromi. Posisi masing-masing pihak masih tetap sama seperti sebelumnya. Ahtisaari dan koleganya akan melakukan review menyeluruh terhadap jalannya perundingan dan kemudian akan melakukan penyesuaian terhadap proposalnya. Perundingan selanjutnya dijadwalkan pada tanggal 10 Maret 2007 di Wina, perundingan ini merupakan kesempatan terakhir para pihak untuk mencapai kompromi sebelum Ahtisaari menyampaikan proposal finalnya ke DK PBB.

Bayang-bayang kegagalan perundingan tahap selanjutnya masih tetap ada mengingat posisi dasar para pihak masih tetap sama. Presiden Tadic pada suatu kesempatan di Blace, NIS menyatakan bahwa :

"We reject Kosovo’s independence, not only because it jeopardizes our country’s integrity, but also because we are convinced such legal and political precedents can cause instability throughout the region.

It is with this conviction that we participate in the Vienna talks. We are doing absolutely everything we can to defend Serbia’s integrity, and that remains the most important task ahead of us today. Challenges and difficulties in the future Kosovo status talks call for different ways and means of defending our integrity.

Unfortunately, there is no doubt the final decision on Kosovo’s future status does not lie with Serbia and its institutions. The issue has been internationalized all the way to the UN Security Council level, and that is something every citizen must be aware of."


Menurut B92, status akhir akan dibicarakan di Dewan Keamanan PBB pada bulan April 2007 ketika presidensi DK PBB dipegang oleh Inggris. Melihat penjadwalan ini, terkesan bahwa Inggris ingin status Kosovo bisa diselesaikan pada masa presidensinya sehingga upaya-upaya Kosovo menuju kemerdekaan dapat mulus meskipun hadangan veto dari Russia maupun China masih tetap ada.

Hanya untuk catatan pribadi saja, ketika masalah dalam negeri suatu negara sudah masuk dalam pembahasan secara multilateral (di-internasionalisasi) maka kemungkinan negara tersebut untuk lepas dari campur tangan asing akan sangat sulit. Demikian juga Indonesia ketika menyelesaikan masalah separatisme di Aceh melalui fasilitasi Martti Ahtisaari dan organisasinya yang kemudian diambil alih oleh Uni Eropa cq AMM kemudian sekarang ada Interpeace, sangat sulit untuk melepaskan diri dari campur tangan mereka meskipun bentuk organisasinya berubah. Presiden Tadic menyadari masalah ini, ketika Kosovo sudah menjadi masalah internasional maka kepentingan Serbia akan terabaikan yang ada adalah kepentingan negara-negara besar yang terlibat didalamnya.

2 comments:

Anonymous said...

sungguh menyedihkan jika masa depan suatu bangsa yg lemah ditentukan oleh kepentingan bangsa lain yg seringkali lebih mementingkan kepentingan ekonomi dan geopolitiknya, ketimbang kepentingan bangsa yg lemah itu. salam.

Pangarso D. Nugroho said...

betul pak Aroeng, masalah-masalah yang terjadi di ex-Yugoslavia bisa menjadi pelajaran bagi kita. kepentingan ekonomi dan geopolitik negara besar juga sangat terlihat di kehidupan sehari-hari di negeri kita.
yang bisa saya sampaikan mungkin mengutip peribahasa "eling lan waspada".
salam